Sinetron Turki Payitaht Abdulhamid menayangkan sepenggal kisah bagaimana kemarahan Khalifah Turki saat mengetahui Belanda mempersulit para haji asal Aceh. Khalifah Turki baru mengetahui hal ini setelah menerima surat protes jamaah haji asal Aceh yang ditujukan kepada Sultan Abdul Hamit di Turki Ottoman.
Berdasarkan transkrip dialog dalam sinema elektronik berbahasa Turki yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini, diketahui pada awalnya khalifah menyebutkan bahwa Muslim di Aceh adalah bagian dari tanggung jawab kekhalifahan Turki Utsmani. “Dalam sejarah, Aceh selalu mencoba mendaftarkan diri sebagai bagian dari Khalifah Ustmaniyah tetapi tidak diterima,” kata khalifah tersebut, seperti transkrip dialog yang diterjemahkan Muhammad Hazwan, Fahd al-Antaroh, Arif Shokri, dan Fakhri Azzam.
Khalifah Turki ini kemudian menjelaskan alasan kenapa kekhalifahan Turki Utsmani menolak Aceh sebagai vasal Turki pada saat itu.
“Adalah sesuatu yang sulit untuk Turki Utsmani untuk membangun wilayah di tengah-tengah samudera. Ketika ada penyerangan, akan mengambil (membutuhkan) waktu untuk membangun pertahanan. Dan kebesaran negara Islam akan mudah untuk diserang,” kata Khalifah Turki dalam serial yang ditayangkan setiap Jumat malam di TRT, televisi Turki ini.
Masih dalam serial Payitaht tersebut, juga diceritakan bagaimana Belanda melarang pengibaran bendera Bulan Sabit Turki di Aceh. Muslim di Aceh juga dilarang untuk membaca khutbah Jumat dengan menyebut Khilafah Utsmaniyah. Menyikapi hal ini, Khalifah Turki kemudian meminta Pasha (bawahannya) untuk membangun jalur kereta api Demiryolu (jalur kereta api ke Madinah) dari Instanbul ke Hijaz kemudian menyambung ke Baghdad dan India. Selanjutnya, Turki juga mengupayakan kapal laut dari India ke Aceh untuk mempermudah para jamaah haji dari daerah tersebut.
Namun, Pasha menyebutkan pembangunan jalur transportasi tersebut masih sulit dilakukan dengan kondisi kekuatan Turki saat itu. Lagipula, Inggris dan Jerman disebutkan tidak akan membantu dalam proyek jalan kereta api ini.
Muhammad Ikram, mahasiswa Teknik Sipil Universitas Ataturk asal Aceh, yang dikonfirmasi portalsatu.com , Sabtu, 17 Juni 2017, membenarkan bahwa dialog dalam serial Payitaht Abdul Madjid II tersebut menceritakan tentang permintaan jamaah haji asal Aceh kepada Khalifah Turki Utsmani. Dia juga membenarkan terjemahan dalam bahasa Indonesia tersebut sesuai dengan dialog aslinya dengan versi basa Turki. Dia juga menyebutkan sinetron tersebut merupakan serial terbaru yang ditayangkan di televisi Turki. “Sekarang sudah episode 16,” tulis Muhammad Ikram menjawab portalsatu.com melalui aplikasi WhatsApp.
*
JIKA merujuk sejarah, apa yang ditayangkan dalam serial Payitaht Abdulhamid ini tidak sepenuhnya dibumbui dengan kisah fiksi belaka. Peneliti sejarah dan kebudayaan Islam Asia Tenggara, Taqiyuddin Muhammad, pernah menerjemahkan salinan surat para haji Aceh yang ditujukan kepada kekhalifahan Turki Utsmani. Surat ini turut dibubuhi dengan cap 63 stempel yang dikirimkan sekitar tahun 1289 H/1872 M atau setelah mangkatnya Sultan Aceh, Manshur Syah. Taqiyuddin memberikan judul terjemahan surat tersebut dengan “Protes Jamaah Haji Asal Aceh.”
Dalam surat ini dijelaskan adanya pengaduan warga Aceh yang hendak berhaji dipersulit oleh Belanda sama halnya dengan penceritaan dalam serial Payitaht Abdulhamid tersebut.
Berikut kutipan lengkap surat protes jamaah haji asal Aceh yang diterjemahkan Taqiyuddin Muhammad, seperti dilansir dari situs mapesaaceh.com:
Terjemahan:
Laporan Jakarleri Darkoh (Persia; kurang lebih artinya “Pelayan Istana Tuan”)
Setelah doa yang wajib selesai amal-amal yang wajib dan sunat, kami yang mengajukan laporan ini kepada Tuan adalah jama’ah haji Baitullah Al-Haram dari rakyat Aceh di mana kami telah datang ke negeri-negeri tanah Al-Haram yang berada dalam naungan kesultanan yang bercahaya.
Maka ketika berada di laut dan setelah kami turun ke kapal, Konsul Belanda dan bajak lautnya (?) menghadang kami dan memberhentikan kami berkali-kali seolah-olah kami ini tawanannya. Ia juga bertindak kasar dan mencoba memungut paksa dari kami tiga riyal per-orang. Mula-mula, kami menolak untuk menyerahkannya dengan alasan kami bukanlah rakyat dia, dan dia tidak punya hak apapun terhadap kami. Tapi kemudian dia menjawab bahwa itu adalah perintah dari Daulah ‘Aliyyah. Lantaran kami adalah rakyat Daulah Al-‘Aliyyah, maka kami turuti perintah Daulah.
Sebagaimana pada kenyataannya, dan sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa rakyat Aceh adalah orang-orang yang merdeka. Pemerintahnya dari mereka sendiri, dan mereka semua adalah rakyat dan vasal dari Daulah Al-‘Aliyyah sejak zaman yang lampau yang mana rakyat Aceh mengibarkan bendera-berdera Daulah Al-‘Aliyyah di negeri mereka serta bernaung di bawahnya dalam menghadapi musuh-musuh.
Tidak pernah Belanda dan kaki tangannya (kaki tangan itu kiranya adalah pribumi di bawah jajahan Belanda—penj.) punya hak apapun bentuknya terhadap rakyat Aceh, dan rakyat Aceh sama sekali tidak pernah mengizinkan seorang Belanda dan kaki tangannya pun tinggal di negeri mereka sekalipun untuk berdagang.
Bahkan, rakyat Aceh dengan sebab bernaung di bawah naungan kesultanan yang bercahaya senantiasa menjaga negeri mereka dari seluruh musuhnya, dan dengan karunia Allah, musuh tidak pernah dapat menguasai apapun yang merupakan miliknya.
Sementara itu, tugas-tugas Daulah Al-‘Aliyyah yang di atasnya terdapat tanda tangan Daulah Al-‘Utsmaniyyah masih dalam pegangan rakyat Aceh sampai sekarang dan seolah menjadi benteng yang kokoh bagi mereka. Maka paparan ini datang ke Jenjang Tangga Daulah‘Utsmaniyyah meminta supaya seorang pejabat Daulah hendaknya sampai ke Aceh untuk menerima tugas-tugas tersebut sehingga dapat menjadi ancaman bagi Belanda sebab mereka tahu bahwa rakyat Aceh dan tanah air mereka adalah bagian dari Daulah Al-‘Aliyyah.
Oleh karena Tuan adalah salah seorang dari mereka yang mengokohkan pilar-pilar Daulah Al-‘Utsmaniyyah serta seorang yang menjaga dan menjauhkan marabahaya dari seluruh rakyat dan semua kerajaan serta seluruh pihak yang bernaung di bawah kesultanan yang bercahaya, maka kami beranikan diri untuk mengajukan laporan ini kepada Tuan agar kami mendapatkan dari keadilan dan ketinggian tekad Tuan suatu keadilan supaya dikembalikan apa yang telah diambilnya secara semena-mena dari kami sekaligus melarangnya mencerobohi rakyat Aceh. Pengeluaran larangan tersebut adalah untuk menjaga agar jangan sampai rakyat Aceh tahu di suatu hari kemudian bahwa pengambilan tiga Riyal itu adalah atas perintah Konsul Belanda, sehingga masalah akan berkembang kepada hal-hal yang tidak baik. Dan persoalan ini akhirnya terpulang kepada hadarat yang kepadanya dipulangkan persoalan.
0 Comments